Saat rintiknya hadir menyapa menghasilkan aroma kuat
tanah yang menenangkan juga melenakan. Sejenak aku lupa cara menghentikan
tangis ditengah hujan, berjalan kembali menuju halte bus menahan dingin dan
kehampaan yang dalam. Menangisi kehilangan sosok anggun yang sabar menjawab
setiap pertanyaanku, mendampingiku menuju gerbang kedewasaan.
Menikmati setiap inchi guyuran hujan bagai jarum yang
menusuk meninggalkan kesan dingin. Mesin waktu yang siap memutar backsound sendu yang menyayat hati sama
dipemakaman ibu setahun lalu. Bau basah tanah merah tempat pelabuhan terakhir
jasad ibu, mendekap erat kembali kesisiNya. Teringat kembali percakapan
ditengah hujan, terakhir aku bisa menyandarkan kepala dibahunya yang nyaman.
Terakhir kali ibu memelukku hangat dan lama. Berbagi cerita tentang filosofi
hidup dalam hujan.
“Bu, kenapa aku selalu dibolehin hujan-hujanan? Kan
biasanya anak-anak yang lain nggak boleh” tanyaku
“Apa yang kamu rasakan waktu hujan-hujanan?” tanya balik
Ibu
“senang. Rasanya
senang bisa lari-larian ditengah hujan terus tiduran diatas rumput halaman.
Rasanya seperti digelitiki, geli” terawangku
“seneng itu apa? Bahagia bukan?” tanyanya
“emmm iya” sahutku
“beda nduk,
seneng itu kamu suka tapi nggak diikuti sama hatimu sedangkan kalo bahagia kamu
suka, menikmatinya dan benar-benar memilikinya rasa itu”
“kok bisa bu?” tanyaku heran
“ saat bermain ditengah hujan kamu lupa masalahmu dan
kamu benar-benar menikmati hal itu. Saat kita menikmati setiap detik hidup kita
dan mensyukurinya maka bahagia itu nyata. Hal itu membuat kamu bahagia dan
membuat kamu semakin kuat dan hidup sebagai manusia” terangnya
“ ooooo begitu. Berarti aku harus hidup bahagia ya bu
bukan hidup senang ya” jawabku manggut-manggut mengerti
“iya nduk. Lalu setelah hujan – hujanan apa yang kamu
lakukan? Tanyanya
“kedinginan lalu masuk rumah, mandi dan ganti pakaian.
Biasanya abis itu demam” jawabku
“ibu membiarkanmu main hujan-hujanan supaya kamu bisa
menikmati kesenanganmu tapi tetap tahu konsekuensi dari apa yang kamu lakukan.
Setelah itu terserah kamu mau pilih yang mana. Mau berulang kali demam atau
berteduh” jelas ibu
“aku pilih berteduh tapi kadang masih pengen
hujan-hujanan” jawabku jujur
“ wajar nduk, manusia
selalu penuh pilihan” sahut ibu kalem
Aku
mencerna perkataan ibu, beliau benar. Hidup penuh pilihan. Hujan sangat menyenangkan ada berbagai rasa bercampur pas didalamnya. ketika hujan aku dapat mengekpresikan luapan emosi yang lama tersiman sehingga nyaris lupa diungkapkan, menyamarkan tangisan ditengah guyuran hujan. Setelah lelah menangis
aku dapat tertawa mengingat kelakuan bodohku.
“nduk,
waktu hujan turun setiap butirnya diikuti malaikat” kata ibu
“ bagaimana bisa? Hujan itu seperti
ada raksasa menangis dilangit lalu airnya turun ke bumi, menyedihkan bu”
sangkalku
“ nggak semua menangis itu karena
sedih. Apa kamu menangis sedih waktu lulus SMA? Kamu menangis karena bahagia
bukan?” sahut ibu bijak
“ yaa ibu benar. Lalu kenapa ada
hujan?” tanyaku penasaran
“ supaya kamu bisa tetap hidup dalam
rasa syukur yang dalam” jawab ibu sambil memandang lurus hujan
“syukur seperti apa? Hujan itu jahat
kita jadi basah terus berteduh disini. Lama nunggu hujan reda bisa kelaparan
aku disini” elakku
“ manusia kadang harus berhenti
sejenak nduk supaya nggak lupa sama
sekitar juga sama Tuhannya”sahut ibu
“ aku nggak lupa kok” protesku
“ coba pejamkan matamu” pinta ibu
Aku
menuruti perintah ibu dan segera memejamkan mata. Hening…. Dan entah kenapa
rasanya nyaman sekali. irama air hujan adalah lagu yang membersihkan pikiran,
menyelipkan sejumput senyuman hangat yang menentramkan hati. Aroma bau tanah
basah yang khas menina bobo kan hati yang gundah. Mengingatkan betapa kecilnya
aku dimata Tuhan sedangkan aku terlalu angkuh untuk menjumpainya 5 waktu.
Hariku habis untuk mengejar kesenangan semu. Sedang yang kucari sebenarnya
sudah ada hanya perlu sedikit rasa syukur yang menggenapi kegembiraanku.
“ bagaimana rasanya?”
“ nyaman dan hangat bu. Aku merasa kecil dihadapan
Tuhan”
“ nah begitulah hujan. Mampu membuatmu hidup dalam rasa
syukur dan mengingat sekelilingmu. Coba lihat pejalan kaki tua yang pincang itu, beliau berteduh dan wanita
muda itu menawarinya teh hangat. Kalo nggak ada hujan mungkin nggak aka nada
yang peduli kepadanya. Kita semua sibuk mengejar waktu dan kesenangan seakan
menggunakan kecamata kuda yang membuat kita terlampau acuh. Hujan menghentikan
sejenak kegiatan dan mengajak kita menyadari dan peduli sekitar kita. Merenungi
siapa sebenarnya kita. Lihatlah pemukiman penduduk didepan kita. Banyak
penduduk yang keluar rumah melihat air sudah menggenangi saluran air didepan
rumah mereka. Kalo nggak ada hujan mungkin mereka nggak akan saling membantu
membersihkan got seperti sekarang. Hidup dikota serba praktis dan cepat jadi
nggak ada waktu buat mengobrol atau menawari minum kalo nggak benar-benar
kenak. Bagaimana mau kenal kalo nggak bisa berhenti dari aktifitasnya. Iya
kan?”
“iya ibu benar, tapi tetap saja ada yang menggerutu
karena kebasahan dan tertinggal bus”
“ nggak semua hal baik dan indah itu disukai tapi
percayalan pembawaan yang baik dan menenangkan seperti hujan selalu diterima
dimanapun kamu berada”
“ mengapa begitu bu? Hujan kan baik” tanyaku
“ nggak semua hujan itu baik nduk”
“loh kata ibu tadi hujan menentramkan”
“hujan itu seperti sifat manusia. Manusia dilahirkan
dalam keadaan suci seperti hujan yang menentramkan tetapi sifat selanjutnya
tergantung pribadi masing-masing. Hujan bisa menentramkan tapi bisa juga
merusak kalo ada unsur lain yang menyertainya. Coba bayangkan hujan bercampur
angin. Apa yang akan terjadi?”
“hujan angin? Seram sekali! mungkin halte tempat kita
berteduh bisa diterbangkan lalu pohon-pohon tumbang menimpa rumah …”
“stop! Sampai situ saja. Nah manusia juga begitu kalo
diikuti hawa nafsu bisanya cuma merusak”
“lalu manusia seperti apa yang menentramkan seperti
hujan bu?”
“yang selalu berbuat baik, berfikiran positif, tegar,
kuat, rajin berusaha dan dekat dengan Tuhan. Setelah hujan apa yang biasanya
muncul?”
“emmm pelangi! Yah pelangi yang biasanya muncul. Indah
sekali kata orang itu jalan bidadari menuju bumi. Mereka berparas cantik tanpa
cacat dan berpakaian indah. Mereka
seperti ibu”
“nah pelangi itulah yang akan kamu dapatkan kalo kamu
seperti hujan. Sinar matahari akan membiaskan titik- titik air lalu jadilah
pelangi. Ibaratkan saja matahari adalah Tuhan. Tuhan selalu member apa yang
manusia minta asal kita mau berusaha. Tapi kalo kita seperti titik – titik
hujan yang mau berusaha maka titik-titik hujan itu akan menjadi pelangi yang
indah”
“indah sekali bu”
“ setidaknya jadilah hujan yang mampu menentramkan
dirinya sendiri, hujan yang tahu cara meredam diri agar tidak merusak atau
menyakiti sekitarnya. Hujan yang mampu membuat pejalan kaki tua yang pincang
menemukan the panas yang melegakan. Jadilah hujan ditengah musim kemarau yang
mampu menyunggingkan senyuman petani desa. Jadilah hujan yang menenangkan” ujar
ibu
“ aku ingin jadi hujan dan melukiskan wajah ibu sehabis
aku hilang” ujarku
“ terimakasih nduk, tetap jadilah diri sendiri tetapi
dengan versi yang lebih baiklagi dari
kemarin. Mawas diri dan jangan sombong” tuturnya
“siap bu. Jadi itu alasan kenapa namaku Raina? Rain
itu hujan. Supaya aku menjadi hujan yang menenangkan ya”
“ iya. kamu lahir waktu hujan. Tenang dan damai bau
tanah segar yang khas… ahhh ibu bersyukur kamu lahir dan jadi anak yang baik.
Tetaplah seperti ini.
Hujan telah reda tapi aku masih
enggan untuk beranjak dari bangku halte. Disini saksi penuturan ibu , bangku
yang selalu setia beliau duduki kala menungguku pulang sekolah atau pulang
kemalaman dengan wajah khawatirnya. Lalu tersenyum lega ketika aku turun dari
bus. Masih menunggu pelangi, berharap bisa melukis wajah ibu disana. Perempuan
terhebat yang pernah ku temui didalam hidupku. Jiwanya yang halus namun tegar
dan selalu mandiri. Terimakasih ibu, aku akan menjadi hujan yang menentramkan
dan menjadi diriku sendiri dengan versi lebih baik dari hari kemarin. :)
enjoy! ♥
-Lufy-
Ps :
do not copy without my permission
Tidak ada komentar:
Posting Komentar